Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra
Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman
mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia,
dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung
berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena
ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang
luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan
berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra
Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau.
Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat
beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena
mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar
Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu
gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki
Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari
sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil
mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah
Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan
lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu
adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani.
Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di
sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi
kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan
kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka
rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping
itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk
Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di
kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai
mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan
memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya
tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah
Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan
berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang
mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang
bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara
tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua
pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani
untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani
berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun
membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin
hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan
hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya
keduanya pun berterus terang kepada keluarga
mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun
merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat hubungan
kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran
seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering
membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk
kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan
tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk
mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat.
Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat
berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak
ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara
tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh
peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun
terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian,
panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban
mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun
tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk
saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu,
maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil
mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu
masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum
seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi
yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang
seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit
antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara
bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan
oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban
yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus
andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan
menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan
sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak
mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat
kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan
dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa
kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di
depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan
kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya
terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya
purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang
bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan
orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam
atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada
Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud
kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan
kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu,
Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan
seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin
mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran
dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal
yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik
kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku?
Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?”
tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan
Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia
telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,”
jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk
memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
SEMOGA BERMANFAAT
+ komentar + 1 komentar
Bajumurmer.com Toko Baju Online Jual Atasan Wanita Dress Ecer Grosir Reseller Murah
Home Improvement
Kumpulan Terbaru
Post a Comment
terimakasih atas kunjungan anda -