“Soal kaki terkilir dan kaki patah,
kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau
bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin
membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?”
bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu
terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara.
Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang
terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa
pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada
kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian
banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang
Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh
Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu
menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk
Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar
pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan
Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti
perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela
anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan
Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan
memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini
dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah
bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di
dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih
mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami
yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu
terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah
keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan
hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun
belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat
bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk
merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu
harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan
Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab
Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi
sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan
kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting
berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun
obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan
darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat
itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera
mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga
lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus
berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang
sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan
perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,”
sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke
kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan
saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka
melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani.
Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk
Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah
melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat
memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya
harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar
dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh
penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani
diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang.
Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam.
Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami
tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin
tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa
kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di
dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak
bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani
segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air
kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa
tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya
dikabulkan, maka mereka semua akan binasa.
Ternyata benar. Permohonan
Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu
tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas
pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan
dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk
menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau
semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang
selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Usul
Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan
Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah
menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian
diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama
tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari
di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto
Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda
yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu
akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan
Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan
terlarang.
Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat
dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain,
demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam
ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat
Sumber: Buku Cerita Rakyat
Post a Comment
terimakasih atas kunjungan anda -